Hati2 dengan dengki:
Kenapa iblis tidak mau bersujud kepada Nabi Adam as? Sebab, iblis sangat dengki terhadapnya. Karena itu, barang siapa di antara kita memiliki sifat dengki, maka sungguh kita telah memiliki salah satu sifat iblis. Rasulullah SAW bersabda, "Melepaskan dua ekor srigala lapar di kandang kambing tidak lebih besar bahayanya di bandingkan dengan seorang muslim yang rakus terhadap harta dan dengki terhadap agama. Sesungguhnya dengki itu memakan habis kebaikan, seperti api melalap habis kayu". (HR. At-Tirmidzi)
Seorang pendengki hidupnya tidak akan mulia di dunia. Malaikat pun akan muak kepadanya. Jika kelak mati, ia akan mendapatkan kedudukan yang teramat hina di hadapan Allah. Demikian pula di Yaumul Hisab timbangannya akan terbalik, sehingga neraka Jahanam pun siap menerkamnya. Itulah nasib malang yang akan Allah timpakan kepada seorang pendengki.
Apakah dengki itu? Secara garis besar sifat ini terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, dengki yang diharamkan. Seseorang merasa tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain dan merasa bahagia kalau orang lain mendapat musibah. Atau setidaknya, ia menginginkan nikmat yang ada pada orang lain tersebut hilang. Ini dengki yang diharamkan, karena sifat seperti ini termasuk ke dalam tingkatan ketiga dari penyakit hati.
Kedua, dengki yang diperbolehkan berupa rasa iri kepada kenikmatan orang lain, tapi tidak ingin menghilangkan kenikmatan tersebut darinya. Melihat orang lain memiliki rumah bagus, kita merasa iri ingin pula memiliki hal yang sama dan tidak dengan cara menjadikan orang tersebut jatuh miskin. Keinginan seperti ini wajar-wajar saja selama tidak bergeser menjadi perasaan tidak enak, yang berlanjut pada hasrat ingin melenyapkan kenikmatan orang tersebut.
Bahkan, "kebolehan" merasa dengki seperti ini insya Allah akan berpahala bila kita berbuat. Pertama, ketika melihat orang berilmu dan gemar mengamalkan ilmunya, giat berdakwah dengan penuh keikhlasan, dan kita pun menginginkan untuk berbuat seperti itu. Kedua, ketika melihat orang kaya yang gemar membelanjakan hartanya di jalan Allah, lantas kita menginginkan berbuat hal serupa.
Dengki biasanya akan berpasangan dengan keadaan yang dihadapi pemiliknya. Mahasiswa akan dengki kepada sesama mahasiswa. Orang pintar akan dengki kepada orang yang pintar lagi, demikian seterusnya. Pendek kata, akan sulit terjadi seseorang merasa dengki terhadap orang lain yang memiliki kapasitas berbeda.
Secara umum ada empat hal yang bisa menyebabkan munculnya sifat dengki, yaitu: pertama, kebencian dan permusuhan. Sifat ini bisa muncul karena pernah disakiti, difitnah, salah satu haknya dilanggar, atau sebab-sebab lain yang merugikan diri sendiri. Kedua, hadirnya naluri untuk selalu lebih dari orang lain. Naluri ini merupakan jalan tol menuju penyakit dengki. Seseorang yang merasa pakaiannya paling bagus misalnya, akan mudah dihinggapi rasa dengki ketika melihat ada orang yang pakaiannya lebih bagus dan lebih mahal daripada yang dipakai dirinya.
Kita hidup seharusnya seperti orang memandikan mayat. Ia akan senang bila ada yang membantu. Ketika berkiprah dalam dakwah, hendaknya kita bersyukur tatkala ada saudara seiman yang memiliki misi yang sama, dan ditakdirkan ilmu dan jamaahnya lebih banyak dari kita. Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisaa: 32, ''Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.''
Penyebab dengki yang ketiga adalah ambisi kepemimpinan. Obsesi ingin selalu memimpin yang disertai ambisi untuk merebut pucuk pimpinan adalah sarana yang paling rawan munculnya kedengkian. Bahkan bisa menjadi awal hancurnya sebuah negara dan umat. Karena itu, dalam konteks kepemimpinan umat, orang yang pertama kali terbenam ke dalam neraka adalah ulama-ulama pendengki yang selalu berambisi menjadi pemimpin dan mengejar popularitas. Munculnya kedengkian dalam hati para ulama dan pemimpin umat sedikit demi sedikit akan menghapuskan cita-cita luhur untuk mewujudkan ittihadul ummah; persatuan umat dalam cahaya Islam.
Dalam QS Al-Hujurat ayat 12 disebutkan: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah pula sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.
Penyebab keempat adalah akhlak yang buruk. Orang yang buruk akhlaknya akan kikir berbuat kebaikan dan tidak suka melihat orang lain mendapatkan kebaikan. Jika melihat sesuatu yang tidak disukainya, ia pasti akan menggerutu dan sibuk menyalahkan. Orang seperti ini hidupnya akan selalu sengsara, dan di akhirat nanti akan mendapatkan transfer pahala yang ia miliki kepada orang yang didengkinya. Rasulullah menyebutnya sebagai orang bangkrut, mufhlis. Ia membawa pahala kebaikan, tapi pahala itu habis untuk menggantikan dosa yang diperbuatnya pada orang lain.
Oleh karena itu, Ibnu Sirrin pernah berucap, "Saya tidak sempat dengki di dunia ini. Kengapa saya harus dengki, apalagi perkara di dunia dan terlebih lagi dengki kepada orang saleh? Bukankah dunia ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan akhirat nanti. Apa perlu kita dengki? Wallahu a'lam bish-shawab
Yang saya maksudkan dengan jihad di sini adalah jihad yang berhukum fardhu kifayah. Sedangkan jihad yang fardhu ‘ain, maka tidak ada keharusan adanya keridhaan kedua orang tua akan hal tersebut.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Ada seorang laki-laki yang meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berjihad, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Dia menjawab, ‘Ya, masih.”
Beliau pun bersabda
“Maka pada keduanya, hendaklah engkau berjihad (berbakti).’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Di dalam kitab Subulus Salaam (III/78), ash-Shan’ani mengatakan, “Lahiriahnya sama, apakah itu jihad fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah, dan baik merasa keberatan pada kedua orang tuanya atau tidak. Jumhur ulama berpendapat bahwasanya diharamkan berjihad bagi seorang anak jika dilarang oleh kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dengan syarat keduanya harus muslim, karena berbakti kepada keduanya adalah fardhu ‘ain sementara jihad tersebut adalah fardhu kifayah, tetapi dalam jihad yang hukumnya fardhu ‘ain, maka lebih didahulukan jihad.
Jika ada yang mengatakan, ‘Berbakti kepada kedua orang tua adalah fardhu ‘ain juga sementara jihad pada saat diwajibkan, maka ia menjadi fardhu ‘ain. Dengan demikian, keduanya berkedudukan sama, lalu di mana letak pendahuluan jihad?’
Dapat saya katakan, ‘Karena kemaslahatannya lebih umum, di mana jihad dimaksudkan untuk menjaga agama sekaligus membela kaum muslimin, sehingga kemaslahatannya bersifat umum, maka yang didahulukan atas yang lainnya dan ia lebih didahulukan atas kemaslahatan penjagaan fisik. Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan keagungan berbakti kepada kedua orang tua, dimana ia lebih utama daripada jihad (yang hukumnya fardhu kifayah)”.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Ada seorang laki-laki menghampiri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berucap, ‘Aku berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad dengan mengharapkan pahala dari Allah.’ Beliau bertanya, ‘Apakah salah seorang dari kedua orang tuamu masih hidup?’ Dia menjawab, ‘Ya, masih, bahkan kedua-duanya.’ Maka beliau bersabda.
“Berarti engkau menginginkan pahala dari Allah?” Dia menjawab, ‘Ya.’ “
Beliau bersabda:
“Kembalilah kepada kedua orang tuamu, lalu pergaulilah mereka dengan baik” [HR. Muslim]
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.
“Aku pernah tanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, ‘Shalat pada waktunya.’ ‘Lalu apa lagi?’ Tanyaku. Beliau menjawab, ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Lebih lanjut, kutanyakan, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Allah.’” [Muttafaq ‘alaih]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Ada seseorang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berucap, ‘Aku berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan membiarkan kedua orang tuaku menangis.’ Maka beliau bersabda.
“Kembalilah kepada keduanya, lalu buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis” [HR. Abu Dawud dengan sanad yang hasan]